Melalui Program Kedaireka, Undana Komit Wujudkan NTT Bebas Stunting 2024

Kupang – Universitas Nusa Cendana (Undana) sebagai perguruan tinggi kawasan Timur Indonesia, dewasa ini semakin menunjukkan komitmen kuatnya dalam upaya percepatan penurunan stunting di Indonesia, khususnya di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Sebagaimana diketahui NTT merupakan provinsi dengan tingkat prevalensi stunting tertinggi di Indonesia.

Riset Kesehatan Dasar tahun 2018 lalu menunjukkan angka prevalensi NTT mencapai 42,6 persen. Meski tren penurunan saat ini terus terjadi sebagaimana hasoil E_PPGBM 20,9 persen. Namun situasi tersebut belum sesuai dengan standar yang ditetapkan Kemenkes RI, yakni 20 persen.

Oleh karena itu, untuk menurunkan angka prevalensi, sertamewujudkan NTT bebas stunting tahun 2024, Tim Stunting Undana melalui paket program Matching Fun Kedaireka 2022 telah mengimplementasikan paket intervensi “Transformasi Struktur Ekonomi Rumah Tangga Perdesaan melalui Optimalisasi Lima Pilar Atasi Stunting dan Sinergi Pentahelix Menuju NTT Bebas Stunting 2024.

Demikian sari pemaparan Ketua Tim Stunting Undana, Dr. Ir. Stefanus Manongga, MS ketika menyampaikan desiminasi hasil upaya penurunan stunting melalui “Transformasi Struktur Ekonomi Rumah Tangga Perdesaan melalui Optimalisasi Lima Pilar Atasi Stunting dan Sinergi Pentahelix Menuju NTT Bebas Stunting” yang dilaksanakan di Ruang Teater Rektorat Undana, Selasa (13/12/2022) siang.

Hadir pada kesempatan itu, Rektor Undana, Dr. drh. Maxs U. E. Sanam, M.Sc, Wakil Ketua Komisi IX DPR RI, Melkiades Laka Lena, Bupati Kabupaten Timor Tengah Selatan, Wakil Bupati Manggarai, Don, Asisten II Setda Kabupaten Kupang, dan Kepala BKKBN NTT.

Hadir pula, Wakil Rektor Bidang Akademik, Dr. drh. Annytha I. R. Detha, M.Si, Kepala Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat (LP2M), Dr. Damianus Adar, M.Ec, Kepala Lembaga Pengembangan, Pembelajaran dan Peningkatan Mutu (LP3M), Dr. Jacobus M. Ratu, M.Si, sejumlah anggota Tim Stunting Undana, dan unsur pentahelix diantaranya para akademisi Undana, perwakilan Pemprov NTT, dunia usaha, komunitas dan media massa.

Dr. Boy-sapaan Dr. Ir. Stefanus Manongga, MS dalam paparannya menyebut upaya yang dilakukan Undana dengan menggandeng unsur pentahelix lain seperti Pemprov NTT, Pemkab TTS, Manggrai, Kabupaten Kupang, dunia usaha, komunitas dan media massa adalah fokus kepada lima pilar atasi stunting berupa: Kesatu, komitmen dan visi kepemimpinan. Kedua, Kampanye Nasional dan Komunikasi Perubahan Perilaku. Ketiga, Konvergensi, Koordinasi, dan Konsolidasi Program Pusat, Daerah, dan Desa. Selanjutnya, yang keempat adalah ketahanan pangan dan gizi, serta yang kelima adalah pemantauan dan evaluasi.

Ia menjelaskan, upaya optimalisasi lima pilar atasi stunting tersebut, dibutuhkan adanya sinergi kolaborasi, koordinasi dan konvergensi intervensi multi sektor. “Dengan demikian kolaborasi, peran dan kontribusi elemen pentahelix yang meliputi unsur pemerintah daerah, akademisi, pelaku usaha, media dan kelompok masyarakat menjadi esensial untuk memastikan adanya pendekatan multisektor,” jelasnya.

Kolaborasi pentahelix, ungkap Dr. Stefanus perlu dikembangkan dalam suatu sistem jaraingan yang lebih formal, misalnya konsorsium atau forum peduli stunting, dengan agenda kegiatan yang dilakukan secara sistematis dan berkala, diantaranya pendampingan pemberdayaan masyarakat, peningkatan kapasitas SDM dalam aspek perencanaan dan penyusunan program berbasis bukti, mendorong program penanggulangan stunting terintegrasi masuk dalam APBDes, ekstensifikasi intervensi spesifik dadlam Rupa PMT pemulihan dan penyuluhan kepada ibu hamil, ibu menyusui, dan anak-anak.

Ia mengatakan, Undana melalui program ini mendedikasikan peran tridharmanya kepadad percepatan eliminasi stunting. Hal ini, jelas Dr Stefanus, antara lain dapat ditempuh melalui agenda penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Kolaborasi mahasiswa dan dosen dalam agenda MBKM menjadi titik sentral percepatan penurunan stunting.

Ketua Tim Stunting Undana menjelaskan, paket intervensi yang dilakukan kepada masyarakat adalah mencakup pemberdayaan usaha pertanian atau hortikultura, ternak dan perikanan.  Selain itu, pemberdayaan usaha non pertanian seperti pengolahan makanan padaat gizi dan usaha tenunan yang disertai dengan KIE gizi dan kesehatan. Kegiatan tersebut, ungkap Dr. Stefanus, telah dilaksanakan sejak Bulan September hingga Akhir 2022 di Kabupaten TTS, Manggarai dan Kabupaten Kupang.

Berdasarkan hasil kajiannya, ditemukan beberapa permasalahan yang berpotensi menjadi hambatan dalam pelaksanaan intervensi stunting terintegrasi diantaranya:

Kesatu, partisipasi aktif masyarakat dalam mengelola paket-paket produktif percepatan penurunan stunting masih minimal, terutama kaitannya dengan kesadaran dan pengetahuan tentang stunting. Kedua, rendahnya kapasitas untuk kegiatan analisis penyebab stunting dan penyusunan program penanggulangannya. “Hal ini terkait  keterbatasan kemampuan pemangku program di OPD kabupaten, kecamatan dan desa yang menyebabkan faktor determinan spesifik penyebab stunting di setiap desa tidak terpetakan dan masih banyak faktor penyebab masalah belum tersebtuh program intervensi,” papar Dr. Stefanus Manongga.

Ketiga, penanggulangan stunting belum menjadi prioritas program di desa/kelurahan. Luaran gizi belum menjadi perhatian sehingga kebijakan dan program-program non kesehatan belum diarahkan menjadi bagian dari intervensi gisi sensitif. Demikian pula alokasi anggaran belanja dan belanja desa (APBDes) masih dominan berorientasi kepada pembangunan fisik/infrastruktur. Keempat, belum optimal intervensi spesifik yang dilakukan di tingkat desa, baik intervensi prioritas dan intervensi pendukung kepada kelompok ibu hamil, ibu menyusui, dan anak-anak utamanya dari kelompok miskin, kurang energi kronik dan anemia.

Baca Juga :  Bioteknologi, Solusi Pertanian Indonesia

Kelima, peran pentahelix dalam mengakselerasi percepatan penurunan stunting melalui implementasi strategi nasional atas stunting belum memadai. Hal ini tampak dari:

(a) Pemerintah, dimana kebijakan pemerintah daerah masih dirasa normatif, terbatas serta memiliki target penurunan stunting yang belum agresif. “Komunikasi dan koordinasi antar organisasi perangkat daerah juga perlu ditingkatkan termasuk dalam sistem data seiring beberapa program yang dijalankan juga masih memiliki skala yang terbatas, belum mempertimbangkan bukti ilmiah yang ada serta aspek keberlanjutan manfaat,” ujarnya.

(b) Akademisi. Menurut Dr. Stefanus, kegiatan Tridharma Perguruan Tinggi yang sejalan dengan stunting sudah cukup banyak dilakukan, namun skala dan diseminasinya terbatas pada jurnal ilmiah sehingga perlu memberikan banyak pengaruh terhadap pembuatan kebijakan dan program yang berbasis bukti. “Kolaborasi dosen dan mahasiswa berpotensi besar dalam meningkatkan cakupan implementasi program, pemantauan serta evaluasi dampaknya terhadap masyarakat,” papar Ketua Tim Stunting Undana.

c. Dunia Usaha. Ia menjelaskan, beberapa pelaku usaha di provinsi NTT telah mengalokasikan pendanaan untuk kegiatan stunting melalui aktivitas corporate social responsibility, namun skala dan keberlanjutannya masih terbatas. Di sisi lain, belum ada pemetaan yang komprehensif atas keterlibatan dunia usaha, belum ada panduan yang jelas serta umpan balik yang diberikan yang memadai bagi para pelaku usaha.

(d) Komunitas. Ia menjelaskan, kemampuan tenaga penggerak di masyarakat masih terbatas diikuti dengan sistem insentif yang belum memadai yang berpotensi mempengaruhi kualitas kerajaannya. (e) Media juga memiliki peran yang sangat signifikan dalam meningkatkan pemahaman terhadap isu-isu stunting, mendorong adopsi perilaku hidup bersih dan sehat serta penerimaan masyarakat terhadap intervensi stunting.

Ia mengakui, pembuatan konten media sosial sebagai bentuk promosi kesehatan masih cukup rendah, meskipun media sosial ini berpotensi besar dalam menjaring dukungan dari masyarakat terhadap program stunting khususnya pada kelompok usia muda banyaknya informasi yang beredar di media juga perlu dipastikan akurasi nya agar tidak menyesatkan masyarakat rekomendasi.

Oleh karena itu, rekomendasi yang disampaikan Dr. Stefanus adalah: Pertama, memberikan pendampingan dan membangun mindset di masyarakat terkait dengan isu-isu stunting yang solusinya melalui: intervensi Komunikasi Edukasi dan Informasi (KEI) berkesinambungan sampai di desa melalui berbagai cara dan beragam saluran.

Kedua, peningkatan kapasitas SDM di tingkat kabupaten, kecamatan dan desa dalam melakukan analisis penyebab stunting dan penyusunan program penanggulangannya, dengan cara: (a) Meningkatkan kemampuan pemangku program di OPD kabupaten/kota, kecamatan dan desa melalui pelatihan atau pendampingan dari perguruan tinggi pada saat kegiatan analisis permasalahan dan penyusunan program intervensi, dan (b) Bappeda perlu mengawal agar setiap pengusulan program atau intervensi didasarkan pada hasil kajian analisis masalah yang benar berbasis bukti.

Ketiga, mendorong program intervensi penanggulangan stunting menjadi salah satu prioritas program di desa atau kelurahan dengan cara: (a) Pembentukan kader stunting atau kader pembangunan manusia yang khusus membantu menangani masalah gizi atau stunting di desa atau kelurahan dengan didukung dana operasional dari APBD atau APBDes.

(b) Mendorong terbitnya peraturan bupati yang dapat menjadi pijakan dan mengikat seluruh komponen OPD di kabupaten sampai ke pemerintah desa untuk memberi prioritas anggaran untuk penanggulangan stunting dan menjadikan luaran gizi sebagai tolok ukur keberhasilan intervensi gizi spesifik dan bukan hanya sebatas terlaksananya kegiatan/project.

(c) Pemerintah daerah melalui Bappeda perlu mengawal agar program intervensi penanggulangan stunting terintegrasi masuk dalam APBD dan APBDes dengan anggaran yang memadai dan (d) Pemerintah desa perlu didampingi agar mampu melakukan sinkronisasi perencanaan dan penganggaran program pembangunan desa untuk mendukung penanggulangan stunting.

Keempat, ekstensifikasi intervensi spesifik dalam rupa Pemberian Makanan Tambahan (PMT) pemulihan maupun penyuluhan kelompok ibu hamil, ibu menyusui dan anak-anak. Intervensi PMT harus dilakukan secara terintegrasi dengan intervensi Sensitif atau pemberdayaan ekonomi masyarakat agar terwujud kemandirian dalam menolong diri sendiri.

Kelima, keterlibatan unsur pentahelix dalam program percepatan penurunan stunting dapat memberikan hasil yang maksimal maka diperlukan penguatan strategi sebagai berikut: (a) pembentukan konsorsium atau forum peduli stanting. (b). diperlukan petunjuk teknis atau regulasi operasional bagi pihak-pihak. Kolaboras multisektor dan konvergensi intervensi stunting menuntut suatu kejelasan sistem dan mekanisme kerja antar pihak-pihak yang terlibat di dalamnya.  

Dr. Stefenus juga menunjukkan rincian petunjuk teknis dan regulasi operasional yang dibutuhkan untuk optimalisasi kolaborasi pentahelix dalam penurunan stunting di NTT, yakni (a) Penyusunan kebijakan teknis mengenai data sharing antar organisasi perangkat daerah serta dengan pihak-pihak dalam forum penulisan tinggi tetap mengedepankan asas manfaat, kerahasiaan dan perlindungan masyarakat.

(b) Penyusunan alur dan mekanisme inisiasi kerja sama antar lembaga sehingga memudahkan berbagai pihak yang ingin berkolaborasi dengan pemerintah daerah atau unsur pentahelix lainnya. (c) Penyusunan skema insentif yang lebih baik bagi tenaga penggerak di masyarakat seperti kader, kader pembangunan manusia dan tenaga pendamping lainnya yang berperan besar dalam memastikan penerimaan program stunting di masharakat.

Baca Juga :  Mahasiswa KKN-T IPB University Gelar Praktik Pembuatan Ekoenzim Bersama Warga Desa Cibanteng

(d). Penyusunan regulasi operasional bagi korporasi untuk mendorong pemenuhan hak dan fasilitas kesehatan bagi karyawan, khususnya karyawan wanita dengan mempertimbangkan kemampuan korporasi tersebut.

Rektor Undana, Dr. drh. Maxs U. E. Sanam, M.Sc ketika membuka kegiatan tersebut mengatakan, program Matching Fund Kedaireka yang diimplementasikan oleh Tim Stunting Undana memberi sinyal kuat akan komitmen Undana mengatasi stunting bersama para pemangku kepentingan, baik, Pemprov NTT, dunia usaha, komunitas maupun media massa.

“Sebagai perguruan tinggi, sebenarnya tugas utamanya adalah melaksanakan tridharma pendidikan, pengajaran, penelitian dan pengabdian masyarakat. Dengan transformasi pembelajaran yang ditegaskan Kemendikbudristek, khususnya terkait dengan MBKM, maka hal ini memberi ruang yang sangat besar bagi seluruh civias akademika termasuk Undana untuk lebih efektif dan efisien menerapkan pengabdiannya kepada masyarakat,” ujar Rektor Undana.

Rektor menjelaskan, melalui Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) saat ini, KKN yang sebelumnya dilakukan selama 2-3 bulan, kini menjadi 6 bulan KKN tematik. Dengan begitu, tidak saja nilai akademik yang diperoleh mahasiswa melalui KKN, tetapi pengakuan atau rekognisi terhadap mata kuliah yang dilakukan selam KKN, begitupun dengan magang dan PKL. “Jadi melalui MBKM, peluang bagi perguruan tinggi untuk berkontribusi bagi masyarakat sangat besar,” katanya.

Rektor mengemukakan, pada Dies Natalis 1 September 2022 lalu, tema yang diangkat adalah “Undana Berdampak”. Hal ini memiliki pengertian bahwa, Undana tidak sekadar melakukan pengajaran, dan penelitian saja, namun berkontribusi bagi kemaslahatan masyarakat. Rektor juga memberi otokokritik terhadap dosen yang melakukan penelitian sekadar memenuhi persyaratan kum atau angka kredit. Oleh karena itu, Dr. Maxs mengajak semua dosen Undana agar melakukan penelitian dan pengabdian yang pada gilirannya mampu mengatasi persoalan masyarakat.

“Ruang kuliah, laboratorium, dan perpustakaan saat ini tidak lagi menjadi satu-satunya tempat belajar, tetapi dengan kemajuan teknologi saat ini, belajar bisa dilakukan di mana saja, termasuk di tengah masyarakat, desa, bahkan di hutan sekalipun. Semuanya untuk berdampak bagi masyarakat,” ujar Rektor Undana.

Rektor menambahkan, komitmennya terhadap persoalan masyarakat, salah satunya dengan mengevaluasi program KKN, termasuk pengabdian masyarakat. Jika selama ini pengabdian masyarakat dilaksanakan secara parsial dan tidak konvergen, maka hal itu harus diubah. “Tahun 2023 kita fokus kepada lokasi prioritas, terutama pada 10 desa penanganan stunting, maka setiap bidang ilmu bisa terepresentatif di situ dan bisa saling menopang menjawab kebutuhan masyarakat, termasuk stunting,” ujarnya.

“Kami pimpinan Undana sudah sampaikan ke civitas, bahwa menjadi dosen yang melakukan tridarma, khususnya pada publikasi scopus level satu, itu hal biasa, tapi menjadi hal luar bisa adalah kita melakukan sesuatu untuk atasi persoalan strategis di NTT, terutama stunting, kemiskinan, kesehatan ibu dan anak dan lainnya,”

Sementara itu, Ketua Panitia, Dr. Franchy Christian Liufeto, M.Si dalam laporannya mengatakan bahwa persoalan stunting di tengah masyarakat NTT tengah mendapat prioritas dari Pemprov/Pemkab/Kota di NTT, termasuk Kemendikbudristek melalui program Matching Fun Kedaireka 2022, yang diimplementasikan Undana dengan melakukan kolaborasi dan konvergensi dengan berbagai pemangku kepentingan.

Dr. Tian mengatakan, Program Kedaireka yang diimplementasikan Undana menggandeng Pemprov, Pemda/Pemkot, dunia usaha, BKKBN, komunitas dan media massa dilaksanakan melalui intervensi program: “Transformasi Struktur Ekonomi Rumah Tanggga Perdesaan Melalui Optimalisasi Lima Pilar Atasi Stunting dan Sinergi Pentahelix Menuju NTT Bebas Stunting 2024”.

Program intervensi tersebut, jelas Dr. Tian, telah dilaksanakan sejak Agustus hingga awal Desember 2022 di 10 desa yang tersebar di 3 kabupaten. 10 desa tersebut adalah desa Compang Dalo, Meler dan Waebelang di kabupaten Manggarai, Desa Nekmese, Buraen dan Retraen di Kabupaten Kupang, dan Desa Oelbubuk, Kualeu, Nifukani dan Haumenbaki di Kabupaten TTS.

“Intervensi penanganan stunting dilakukan dengan berbagai paket intervensi yang diberikan kepada 150 KK (Setiap desa 15 KK) melalui pengambilan data, FGD Lokakarya, Pelatihan, untuk menciptakan kemudahan akses ekonomi rumah tangga melalui pengelolaan bantuan paket pertanian, dan paket non pertanian (Peralatan Pengolahan Pangan dan tenun, serta paket pelatihannya),” terang Dr. Tian.

Selain itu, Tim Stunting Undana juga melakukan edukasi bagi para remaja tingkat SLTA di Pedesaan serta pendampingan program oleh mahasiswa KKN dan Dosen Undana, Penyuluh Pertanian Peternakan Perikanan Setempat, Tenaga Ahli Gizi Puskesmas, dan Tenaga Pendamping Desa.

Pada akhir laporannya, ia mengucapkan terima kasih kepada Wakil Ketua Komisi IX DPR RI, Melki Laka Lena, Bupati TTS Epy Tahun, Wakil Bupati Manggarai, Heribertus Nabut, SH, Asisten II Kabupaten Kupang, Mesak Elfeto, SH, Kepala Dinas PPPA NTT, dr. Lien Adriani, Kepala dan staf Bappeda, pihak kecamatan Kelurahan Desa, Puskemas dan Tenaga Pendamping Desa, BKKBN dan P2KB dan Keluarga Mitra Program, yang turut hadir dalam kegiatan tersebut (*/rfl)

1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (2 votes, average: 2.50 out of 5)
Loading...
3421 Views