close

Dosen Unpad Buat Plastik Mudah Terurai dari Limbah Cangkang Udang

Tim peneliti gabungan Universitas Padjadjaran membuat plastik pembungkus makanan ramah lingkungan (bio-packaging) yang terbuat dari limbah cangkang udang dan rumput laut. Plastik ini bersifat biodegradable atau mudah terurai secara alami.

Riset ini dilakukan oleh Dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unpad Dr. Emma Rochima, M.Si. Emma mengatakan, penelitian ini bermula dari kekhawatiran akan menumpuknya sampah plastik yang mayoritas berasal dari sampah pembungkus makanan. Sebagian besar plastik tidak mudah diurai secara hayati.

“Kita mencari alternatif bioplastik, yaitu plastik yang berbahan dasar dari bahan biologis,” ungkap Emma saat diwawancarai di Laboratorium Finder U-CoE Unpad, Jatinangor.

Salah satu penelitian plastik biodegradable yang dibuat, yaitu sebagai pembungkus cokelat batangan. Penelitian ini memperoleh hibah Kedaireka-Matching Fund tahun 2023. Diketuai oleh Emma, tim beranggotakan Prof. Dr. Camellia Panatarani, M.Si (Unpad) dan Prof. Danar Praseptiangga, M.Sc, Ph.D (UNS).

Dalam penelitian tersebut, plastik biodegradable dihasilkan dari limbah cangkang udang yang diekstrasi hingga diperoleh kitosan. Emma menjelaskan, kitosan bersifat polikationik sehingga dapat digunakan sebagai pelindung makanan. Kitosan juga dapat berfungsi sebagai antibakteri yang dapat mencegah makanan mudah rusak oleh bakteri.

Baca Juga :  Dukung Energi Terbarukan, Mahasiswa ITS Gagas Pengontrol Pemurnian Biogas

Sementara itu, rumput laut Kappaphycus alvarezii diolah untuk memperoleh karaginan. Karaginan berfungsi sebagai matriks penyusun atau polimer.

Selain melindungi cokelat, plastik biodegradable ini diyakini tidak mengubah rasa, bau, dan warna makanan yang dibungkusnya.

Plastik biodegradable juga menggunakan nanoteknologi dengan silica dan zinc untuk meningkatkan kualitas plastik sehingga uap air dan mikroba tidak mudah masuk, serta meningkatkan transparansi plastik.

Dalam aplikasinya, plastik biodegradable ini berfungsi sebagai pembungkus yang langsung menempel pada cokelat, sebelum kemudian dibungkus lagi menggunakan cardboard box.

Produk ini pun terus dilakukan uji coba untuk meningkatkan kualitas kemasan, termasuk daya tahan dan waktu simpan makanan yang dibungkus. Jika plastik ini dibuang ke tanah, diketahui bahwa plastik ini akan hilang dalam waktu 28 hari.

“Kita uji selain untuk daya tahan, daya simpan, juga pengaruhnya pada kualitas cokelatnya,” ungkap Emma.

Penelitian ini berawal dari aktivitas riset di Pusat Kolaborasi Riset Biomaterial Kelautan yang menjadi hub peneliti biomaterial kelautan dari berbagai perguruan tinggi dan BRIN dengan industri.

Baca Juga :  Dihqon Naadamist, Alumnus IPB University yang Bercita-cita Sekolahkan 1000 Anak Lewat Cleansheet

Dalam produksi plastik biodegradable, Emma dan tim menggunakan limbah dari biomaterial laut sebagai upaya untuk mengurangi sampah dari hasil perikanan. Selain itu, penelitian ini juga sebagai upaya memberi nilai tambah dari biomaterial laut.

“Tentu memberi nilai tambah bagi limbah, sekaligus juga meningkatkan potensi lokal,” ujar Emma.

Penelitian mengenai nilai tambah biomaterial laut melalui pemanfaatan kitosan ini pun telah menjadi penghubung berbagai kolaborasi penelitian dengan sejumlah peneliti lain, baik dari internal Unpad maupun dengan peneliti dari perguruan tinggi lain.

Plastik biodegradable yang dihasilkan pun disesuaikan dengan permintaan dari stakeholders, seperti tingkat elastisitas, ukuran, ketebalan, dan sebagainya. Selain plastik biodegradable sebagai biopackaging, penelitian juga dibuat untuk berbagai produk, salah satunya bionanokompositfilm untuk memperpanjang daya simpan buah-buahan.

Selain cangkang udang dan rumput laut, bahan yang dapat Emma gunakan untuk membuat plastik biodegradable adalah cangkang rajungan (sebagai sumber kitosan), pati singkong, dan limbah kulit ikan.

“Kita punya kolaborasi, kita terus tingkatkan produk. Harapannya tentu meningkatkan nilai tambah bagi produk perikanan juga meningkatkan potensi lokal,” ujar Emma.*