Temporary Cyclic, Hunian Pengungsi Asing Rancangan Mahasiswa ITS

Ilustrasi rancangan bangunan Temporary Cyclic, karya mahasiswa Departemen Arsitektur ITS, secara keseluruhan
Ilustrasi rancangan bangunan Temporary Cyclic, karya mahasiswa Departemen Arsitektur ITS, secara keseluruhan

Kampus ITS, ITS News – Kedatangan pengungsi warga negara asing (WNA) atau refugee ke Indonesia yang diakibatkan oleh konflik negara ataupun bencana alam merupakan salah satu penyebab terjadinya naturalisasi dan padatnya penduduk Indonesia. Guna mengatasi hal tersebut, mahasiswa Departemen Arsitektur Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Faradiba Zainina Silmikaffa mengusung sebuah rancangan hunian untuk pengungsi yang diberi nama Temporary Cyclic dalam tugas akhirnya (TA).

Mahasiswi yang akrab disapa Fara tersebut mengungkapkan bahwa rancangan ini adalah salah satu solusi dari dampak negatif tingginya pertumbuhan demografi di dunia. Selanjutnya, ia memaparkan bahwa Temporary Cyclic dirancang untuk memenuhi kebutuhan pengungsi selama satu siklus atau lima tahun. Waktu siklus tersebut bertujuan untuk menghindari penumpukan pengungsi di Indonesia. Bahan-bahan yang digunakan juga dirancang dengan material bangunan yang hanya dapat bertahan sekitar lima tahun.

Perbandingan saat Temporary Cyclic selama masa hunian (kiri) dan Temporary Cyclic saat memasuki satu siklus yang akan dilakukan pembangunan ulang
Perbandingan saat Temporary Cyclic selama masa hunian (kiri) dan Temporary Cyclic saat memasuki satu siklus yang akan dilakukan pembangunan ulang

Selanjutnya, Fara menjelaskan bahwa Temporary Cyclic dibangun di tengah laut untuk menghindari kepadatan penduduk di wilayah daratan Indonesia dan mengisolasi pengungsi serta menghindari naturalisasi. “Jadi para pengungsi tinggal selama satu siklus saja kemudian dipindahkan ke negara lain, dan Temporary Cyclic dibangun ulang untuk pengungsi pada siklus selanjutnya,” terangnya.

Baca Juga :  Lolos Pimnas ke-34 Terbanyak Ketiga, ITS Siapkan Strategi Terbaik

Rancangan Temporary Cyclic dibuat dengan kapasitas 500 orang dengan luas sekitar 13.500 hektar. Ruangan yang dirancang terdiri atas ruang komunal, ruang untuk modul hunian, ruang vertikultur dan desalinasi, ruang kerja lanskap, keramba ikan, dan ruang parkir kapal untuk penghuni. “Ruangan tersebut dirancang berdasarkan kebutuhan sandang, pangan, dan papan para pengungsi,” ungkap Fara.

Gambaran ruang vertikultur dan desalinasi, yaitu tempat para pengungsi atau refugee beraktivitas untuk memenuhi kebutuhan primer
Gambaran ruang vertikultur dan desalinasi, yaitu tempat para pengungsi atau refugee beraktivitas untuk memenuhi kebutuhan primer

Lebih lanjut, Fara menerangkan fungsi dari ruangan-ruangan tersebut. Di antaranya adalah modul hunian yang digunakan sebagai tempat tinggal atau rumah untuk pengungsi, ruang komunal yang digunakan untuk mewadahi kebutuhan sekunder seperti aktivitas interaktif spasial atau tempat berkumpul untuk mendisrupsi psikologis para pengungsi, ruang vertikultur dan desalinasi yang digunakan untuk melakukan aktivitas bercocok tanam dan desalinasi air laut.

Dalam penerapannya, ruangan yang menjadi aktivitas utama pengungsi seperti ruang hunian akan mengalami pelapukan. Hal tersebut menandakan bahwa waktu pengungsi telah mencapai satu siklus sehingga diharuskan untuk berpindah ke wilayah lain. “Material ruangan  memiliki durabilitas kekuatan tarik materialnya defisit mencapai 50 persen saat material tersebut berumur lima tahun,” ujarnya.

Baca Juga :  Program Mobilitas Internasional Mahasiswa Indonesia, Kesempatan bagi Mahasiswa Indonesia Belajar di Luar Negeri
Grafik durabilitas dari ketahanan daya tarik material bambu selama 90 bulan dari rancangan Temporary Cyclic, karya mahasiswa Departemen Arsitektur ITS
Grafik durabilitas dari ketahanan daya tarik material bambu selama 90 bulan dari rancangan Temporary Cyclic, karya mahasiswa Departemen Arsitektur ITS

Sedangkan ruang dan utilitas lainnya yang tidak dijadikan ruang untuk pengungsi dalam beraktivitas akan digunakan material yang kokoh. Hal tersebut dilakukan untuk mengurangi biaya anggaran pembangunan ulang dari Temporary Cyclic. “Material yang bertahan selama satu siklus hanya pada tempat para pengungsi melakukan aktivitas rutin sehingga saat satu siklus ruang tersebut tidak lagi layak untuk ditinggali,” terang Fara.

Tugas akhir karya Fara yang dibimbing oleh dosen FX Teddy Badai Samodra ST MT PhD ini berhasil menjadi tugas akhir terbaik pada Kompetisi Tugas Akhir (KTA) dengan kategori Social Studies yang diselenggarakan oleh Departemen Arsitektur ITS, beberapa waktu lalu. “Harapannya, rancangan ini dapat direalisasikan di berbagai wilayah baik secara konsep maupun secara keseluruhan, sehingga kesejahteraan dan hak-hak penghuni atau pengungsi terpantau dan terjamin oleh negara,” pungkasnya. (HUMAS ITS)