Tantangan Energi Hijau dan Mahasiswa Teknik di Indonesia

Jakarta- Sebuah isu yang menarik seputar energi menjadi tema pembahasan dalam seri seminar daring Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) bekerja sama dengan Forum Dekan Teknik Indonesia (FDTI). Sabtu (11/07), Ditjen Dikti kembali menyelenggarakan seminar daring seri ke-7 bertemakan “Tantangan Pemenuhan Energi Hijau Dan Pengelolaan Sumber Daya Mineral Berkelanjutan”. Seminar ini menampilkan pembicara utama Arcandra Tahar, Menteri ESDM periode Juli-Agustus 2014, Wakil Menteri ESDM 2016-2019, dan saat ini menjabat sebagai Komisaris Utama PT. PGN.

Dalam paparan awalnya, Arcandra menjelaskan Pasal 33 UUD 1945 berkaitan erat dengan pengelolaan SDA, termasuk mengelola sektor energi. Pengelolaan berlangsung secara mandiri mencakup pembiayaan dari dalam negeri, sumber daya manusia lokal, teknologi mandiri, dan pemanfaatan energi secara domestik.

Arcandra menggunakan sumber data BP Statistical Review of World Energy 2019 sebagai fakta bahwa sebagian sumber energi minyak bumi dan gas bumi berada di Indonesia. Berdasarkan data tersebut, Indonesia memiliki cadangan minyak bumi sebanyak 0,4% dari total cadangan terbukti seluruh dunia. Cadangan bukti sektor gas bumi sebanyak 1,4% dari total cadangan terbukti seluruh dunia.

Baca Juga :  IPB University dan PT Astra International Siap Dampingi 300 Desa di Penjuru Indonesia

“Sehingga kita tidak cocok disebut sebagai negara yang kaya akan minyak bumi dan gas bumi, tetapi sampai saat ini minyak bumi dan gas bumi kita terus berproduksi,” tutur Arcandra. Selain itu, dia menekankan perlunya eksplorasi sumber energi baru. Salah satunya memanfaatkan sektor energi hijau.

Saat ini energi hijau mengalami tantangan tersendiri di Indonesia. Arcandra mengelompokkan tantangan tersebut ke dalam 5 hal yaitu masalah pembiayaan, perizinan, hak tanah, smart grid, pajak dan insentif pemerintah. Bunga pinjaman bank di Indonesia sekitar 10-11% menimbulkan kendala pembiayaan produksi. Pinjaman luar negeri yang masuk ke Indonesia semula berbunga 2-3% dan saat ini berubah menjadi 9-10% setelah disesuaikan dengan aturan keuangan di Indonesia. “Imbal hasil yang kurang menarik menjadi tantangan tersendiri bagi produksi energi hijau di Indonesia. Saya mengajak Bapak/Ibu di sini untuk membantu mencari solusi bersama kami,” pintanya.

Arcandra mengajak para sivitas akademika untuk mencari solusi berdasarkan kebutuhan pasar. Menurut Arcandra aktivitas penelitian di Indonesia masih hanya memenuhi rasa penasaran, sehingga hasil penelitian berbeda dengan kebutuhan pasar. Ketika tersedia kebutuhan pasar yang belum memproduksi hal tersebut, maka inovasi dapat dilakukan dengan melihat perkembangan teknologi terakhir.

Baca Juga :  MBKM Mandiri di 3 Provinsi Sulawesi Fokus pada Masalah Stunting, Krisis Energi, dan Kemiskinan

“Kita perlu mengembangkan kemampuan mahasiswa teknik Indonesia dengan membekalinya dalam aspek teknik keilmuan, komersial, dan politik. Selain itu juga diperlukan keinginan untuk mengeksekusi rencana lalu keberanian untuk menuntaskan rencana atau pekerjaan,” ucap Arcandra.

Lanjutnya, transformasi membentuk mahasiswa teknik secara berurutan yaitu layak secara kemampuan teknis, layak secara komersial, dan diterima secara politik.

Pada kesempatan itu juga, plt. Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Nizam, menyampaikan bahwa kita harus membangun mahasiswa agar menjadi penemu yang sadar tentang komersialisasi dan aspek politik. Di saat yang bersamaan, insinyur tentunya fokus pada kelayakan secara kemampuan teknis.

“Selama ini hasil penelitian di Indonesia mengalami kendala karena ketidaksesuaian dengan industri sehingga perlu pendekatan kepada industri di Indonesia agar membuka permasalahannya dan mencari solusi bersama dosen dan mahasiswa di perguruan tinggi,” imbuhnya.

Selain Arcandra Tahar, dalam acara ini, hadir pula Rektor Institut Teknologi Sepuluh November, Mochamad Ashari; dan moderator seminar Dekan FT UNRI, Ary Sandyavitri. (YH/DZI/FH/DH/NH/KRN/HIL)

Humas Ditjen Dikti
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan